Sumpah Dalam Islam Dengan Menyebut Nama Allah, Bagaimana Hukumnya?
Dalam kehidupan sehari hari saat sedang berada dalam masalah sering tak sengaja mengucap sumpah untuk membuktikan bahwa kita benar.
Lalu bagaimana hukum sumpah menurut Islam?. Pelajari selengkapnya pada ulasan berikut.
Contents
Pengertian Sumpah Dalam Islam
Dalam bahasa Arab, sumpah dalam Islam berasal dari kata al-Aiman (الأيمان) yang merupakan bentuk jamak dari kata al-Yamin (اليمين).
Memiliki arti tangan kanan untuk bersumpah, karena berdasar dari kebiasan orang arab yang lazim mengangkat tangan kanan saat mengucapkan sumpah.
Sedangkan menurut istilah kata sumpah berarti mengatakan sesuatu yang agung secara khusus untuk menguatkan perkara yang disumpah.
Dalam Islam agar sumpah menjadi valid, maka seseorang perlu terlebih dahulu bersumpah atas nama Allah (salah satu dari nama nama Allah atau salah satu dari sifat Allah.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berikut:
Maka orang yang ingin bersumpah hendaklah menyebut “Wallahi”, “Billahi” atau “Tallahi” yang semuanya bermaksud “Demi Allah”.
Berdasarkan hadis di atas juga, boleh bersumpah dengan salah satu nama Allah seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Khalik dan sebagainya. Misalnya “Demi al-Rahman, aku tidak pernah melakukan hal itu”. [Shahih Fiqh al-Sunnah, 2/288.]
Sumpah seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Misalnya dalam sabda beliau SAW:
Jika seseorang bersumpah dengan menyebut selain Allah, sifat sifat Allah atau nama nama Allah maka sumpahnya tidak hanya tidak sah tapi juga termasuk menyekutukan Allah.
Dan termasuk dalam doa syirik yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah SWT kecuali dengan taubatan nasuha.
Sesuai dengan hadist berikut ini:
Sumpah dengan selain Allah bukan sahaja tidak sah dan syirik, orang yang melakukannya perlu segera mengucapkan syahadah, mempersaksikan bahawa “Tiada Tuhan Melainkan Allah”:
Macam Sumpah Dalam Islam (Yamin)
Untuk perkara pembagian Sumaph para ulama sepakat membaginya menjadi 3 golongan, yaitu:
Yamin Laghwu
Adalah ucapan yang tidak dimaksudkan untuk sumpah namun seperti sumpah. Misalnya, ucapan seseorang, “Tidak, demi Allah.”
Sebagian ulama memiliki pendapat berbeda yang menyebutkan bahwa sumpah seseorang terhadap suatu peristiwa sesuai dengan prasangkanya termasuk dalam Yamin Lagwun. Tidak ada kafarah untuk jenis sumpah seperti ini.
Yamin Mun’aqodah
Yamin Mun’aqodah adalah sumpah seseorang yang menyebutkan nama Allah (dengan nama/sifat Allah) untuk melaksanakan sesuatu, namun dia tidak melaksanakannya.
Atau untuk tidak melaksanakan sesuatu kemudian ternyata ia melaksanakannya. Ia telah melanggar sumpahnya. Maka jenis ini ada kaffarahnya. Menurut Imam Ibnu Qudamah dalam Al Mughninya, tidak ada khilaf di kalangan ulama tentang kewajiban kaffarah untuk sumpah jenis ini.
Yamin Al Ghamush
Yaitu sumpah palsu yang dilakukan oleh seseorang, dan dia sadar bahwa itu telah dusta.
Misalnya ia tahu bahwa ia saudaranya mencuri, lalu ia bersumpah bahwa saudaranya tidak mencuri.
Untuk jenis ini, jumhur ulama tidak mewajibkan kaffarah, tetapi pelaku wajib bertaubat, karena telah melakukan dosa besar.
Imam al-Baihaqi menulis dalam sunannya sebuah Bab, yaitu Bab: Yamin Ghamus (sumpah palsu). Beliau meriwayatkan sebuah atsar dari Ibnu Mas’ud RA, bahwa beliau RA berkata, “Dulu, kami –para sahabat Rasulullah SAW- menilai sumpah yang tidak ada kafarahnya adalah sumpah palsu.”
Hanya saja, madzhab Assyafi’iy berpendapat; sumpah palsu tetap ada kaffarohnya. Namun, pendapat jumhur lebih rojih (kuat).
Kafarah Pengganti Sumpah Dalam Islam
Berdasarkan ayat di atas, orang yang bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan dia serius dalam sumpahnya, kemudian dia melanggar sumpahnya maka dia berdosa.
Untuk menebus dosanya, dia harus membayar kaffarah.
Bentuk kaffarah sumpah telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,
Berdasarkan ayat diatas, kaffarah sumpah ada 3:
-
Memberi Makan 10 Orang Miskin
Memberi makan di sini adalah makanan siap saji, lengkap dengan lauk-pauknya.
Hanya saja, tidak diketahui adanya dalil yang menjelaskan batasan makanan yang dimaksudkan selain pernyataan di ayat tersebut: “makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu”.
-
Memberi Pakaian 10 Orang Miskin
Ulama berselisih pendapat tentang batasan pakaian yang dimaksud. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bahwa batas pakaian yang dimaksudkan adalah yang bisa digunakan untuk shalat.
Karena itu, harus terdiri dari atasan dan bawahan. Dan tidak boleh hanya peci saja atau jilbab saja. Karena ini belum bisa disebut pakaian.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang miskin yang berhak menerima dua bentuk kafarah di atas hanya orang miskin yang muslim.
3. Berpuasa Selama Tiga Hari
Pilihan yang keempat ini hanya dibolehkan jika tidak sanggup melakukan salah satu diantara dua pilihan sebelumnya.
Apakah puasanya harus berturut-turut? Ayat di atas tidak memberikan batasan. Hanya saja, madzhab hanafiyah dan hambali mempersyaratkan harus berturut-turut.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini, boleh tidak berturut-turut, dan dikerjakan semampunya.